Etika Bisnis
Di masa sekarang ini, kita tidak bisa lepas dari transaksi jual-beli. Mulai dari jual-beli kebutuhan pokok hingga jual-beli barang-barang bekas. Sebagai agama yang syaamil (menyeluruh), Islam memberi tuntunan etika berdagang. Teladan terbaik kita, Nabi Muhammad saw telah banyak mencontohkan akhlak yang baik. Sebagaimana telah kita ketahui, beliau adalah pedagang yang terkenal kejujurannya. Karena akhlaknya yang mulia itu, banyak saudagar yang mengajak beliau bekerja sama. Salah satunya adalah Khadijah binti Khuawailid ra yang kemudian dinikahi Nabi saw.
Berikut ini beberapa etika berdagang menurut tuntunan Al Quran dan sunnah Nabi saw. Agar aktivitas ini menjadi salah satu ladang pahala bagi kita, jangan sampai usaha kita selama ini malah menjerumuskan kita pada kerusakan di dunia dan akhirat kelak.
1. Membaguskan niat dalam berdagang.
Anas ra bercerita bahwa, Rasulullah saw melihat para sahabat bekerja dengan rajin dan giat. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ini bagian dari jihad?” Nabi saw menjawab, “Jika usaha itu untuk anaknya yang kecil, orang tuanya, dan untuk dirinya sendiri, maka itu termasuk jihad di jalan Allah. Namun jika dia berusaha karena riya (pamer) dan kesombongan, itu adalah jihad di jalan setan” (HR. Ath Thabrani dan Al-Baihaqi).
2. Hendaknya kecintaan terhadap dunia tidak mengalahkan kerinduan akan akhirat.
Yaitu dengan membiasakan dzikir, istigfar, shalawat, serta meninggalkan perniagaan dan bergegas shalat ketika azan berkumandang.Allah swt. berfirman, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual-beli dan mengingat Allah dan mendirikan shalat (dan) membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS. An Nuur 37). Nabi saw bersabda, “Barangsiapa membiasakan membaca istighfar, maka Allah akan melapangkan segala kesempitannya, memudahkan segala kesulitannya, dan memberinya rezeki yang tanpa diduga-duga” (HR. Abu Dawud).
3. Hendaknya mencari rezeki yang halal.
Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan di antara yang keduanya ada perkara yang syubhat (samar-samar), yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang syubhat, berarti ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa jatuh dalam wilayah syubhat, berarti ia telah jatuh ke dalam wilayah haram...” (HR. Bukhari & Muslim).
4. Menjauhi perbuatan dusta dan curang.
Nabi saw. melarang praktik al-gisy yaitu melakukan pengelabuan kecurangan dalam berdagang dengan cara misalnya menampakkan barang dagangan yang bagus dan menjadikannya sebagai contoh. Padahal sebagian yang lainnya tidak sebagus itu atau bahkan berkualitas buruk, tanpa memberitahukan hal itu pada pembeli. Sehingga pembeli menyangka semuanya berkualitas yang sama dengan contoh yang ditunjukkan. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang berlaku curang atau mengelabui kami, maka ia bukan termasuk golongan kami” (HR. Muslim).
5. Tidak bersumpah hanya karena barangnya ingin laku.
Nabi saw bersabda, “Takutlah banyak bersumpah dalam berdagang karena itu akan membinasakan” (HR. Muslim).
6. Tidak boleh mengurangi takaran dan timbangan.
Allah swt berfirman, “Celakalah bagi orang-orang yang curang! (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain) mereka mengurangi” (QS. Al Muthaffifin 1-3).
7. Tidak diperkenankan memuji berlebihan barang yang dijual.
Nabi saw bersabda, “Pedagang yang jujur dan tepercaya akan bersama dengan Nabi, Shiddiqin, dan syuhada” (HR. At Tirmidzi)
8. Tidak menimbun barang.
Nabi saw bersabda, “Tiada yang menimbun dan memonopoli barang dagangan kecuali orang yang berdosa” (HR. Muslim).
9. Menentukan harga dan melakukan proses jual-beli dengan baik.
Nabi saw bersabda, “Semoga Allah memberi rahmat kepada seseorang yang bermurah hati (mudah dan memudahkan) sewaktu menjual, bermurah hati (mudah dan memudahkan) ketika membeli dan bermurah hati (mudah dan memudahkan) saat menagih utang” (HR. Al-Bukhari)
10. Tidak diperkenankan menjual barang yang sedang ditawar orang lain.
Nabi saw. bersabda, “Dan tidak diperbolehkan kalian mengadakan jual beli yang sedang dalam penawaran orang lain” (HR. Muttafaq ‘alaihi).
11. Tidak boleh melakukan transaksi riba.
Allah Taala berfirman, “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah 275) dan “Allah menghilangkan/memusnahkan berkah harta riba dan menyuburkan sedekah” (QS. Al Baqarah 276). “Hai orang-orang beriman bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (seberapapun nilainya), jika kamu benar-benar menjadi orang-orang beriman” (QS. Al Baqarah 278 ). Dan dalam hadits lbnu Mas’ud ra, beliau berkata, “Rasulullah saw melaknat pemakan riba (penerimanya atau rentener), pemberinya (peminjam), kedua saksi, dan pencatatnya” (HR. Muslim dan At Tirmidzi).
12. Tidak berjual-beli barang-barang haram.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan penjualan minuman keras, bangkai, babi, dan patung-patung sesembahan” (HR. Muttafaq ‘alaih). Dan beliau juga melarang (tidak menghalalkan) uang hasil penjualan anjing, uang hasil pelacuran dan upah dukun” (HR. Muttafaq alaih).
REFERENCE:
http://serpihankertasku.blogspot.com/2009/07/etika-berdagang.html
Rabu, 01 Desember 2010
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CRS)
Etika Bisnis
pengertian CSR sangat beragam. Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, tetapi untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving, corporate philanthropy, corporate community relations, dan community development.
Ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau pendekatan CSR. Jika corporate giving bermotif amal atau charity, corporate philanthropy bermotif kemanusiaan dan corporate community relations bernapaskan tebar pesona, community development lebih bernuansa pemberdayaan.
Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) karya John Elkington.
Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P (profit, planet, dan people). Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit), tetapi memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
Bias-bias CSR
Berdasarkan pengamatan terhadap praktik CSR selama ini, tidak semua perusahaan mampu menjalankan CSR sesuai filosofi dan konsep CSR yang sejati. Tidak sedikit perusahaan yang terjebak oleh bias-bias CSR berikut ini.
Pertama, kamuflase. CSR yang dilakukan perusahaan tidak didasari oleh komitmen genuine, tetapi hanya untuk menutupi praktik bisnis yang memunculkan ethical questions. Bagi perusahaan seperti ini, CD bukan kepanjangan dari community development, melainkan “celana dalam” yang berfungsi menutupi “aurat” perusahaan. McDonald`s Corporation di AS dan pabrik sepatu Nike di Asia dan Afrika pernah tersandung kasus yang berkaitan dengan unnecessary cruelty to animals dan mempekerjakan anak di bawah umur.
Kedua, generik. Program CSR terlalu umum dan kurang fokus karena dikembangkan berdasarkan template atau program CSR yang telah dilakukan pihak lain. Perusahaan yang impulsif dan pelit biasanya malas melakukan inovasi dan cenderung melakukan copy-paste (kadang dengan sedikit modifikasi) terhadap model CSR yang dianggap mudah dan menguntungkan perusahaan.
Ketiga, directive. Kebijakan dan program CSR dirumuskan secara top-down dan hanya berdasarkan misi dan kepentingan perusahaan (shareholders) semata. Program CSR tidak partisipatif sesuai prinsip stakeholders engagement yang benar.
Keempat, lip service. CSR tidak menjadi bagian dari strategi dan kebijakan perusahaan. Biasanya, program CSR tidak didahului oleh needs assessment dan hanya diberikan berdasarkan belas kasihan (karitatif). Laporan tahunan CSR yang dibuat Enron dan British American Tobacco (BAT), misalnya, pernah menjadi sasaran kritik sebagai hanya lip service belaka.
Kelima, kiss and run. Program CSR bersifat ad hoc dan tidak berkelanjutan. Masyarakat diberi “ciuman” berupa barang, pelayanan atau pelatihan, lantas ditinggalkan begitu saja. Program yang dikembangkan umumnya bersifat myopic, berjangka pendek, dan tidak memerhatikan makna pemberdayaan dan investasi sosial. CSR sekadar “menanam jagung”, bukan “menanam jati”.
CSR yang baik
CSR yang baik (good CSR) memadukan empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency, accountability, dan responsibility, secara harmonis. Ada perbedaan mendasar di antara keempat prinsip tersebut (Supomo, 2004). Tiga prinsip pertama cenderung bersifat shareholders-driven karena lebih memerhatikan kepentingan pemegang saham perusahaan.
Sebagai contoh, fairness bisa berupa perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas; transparency menunjuk pada penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu; sedangkan accountability diwujudkan dalam bentuk fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi yang harus dipertanggung jawabkan.
Sementara itu, prinsip responsibility lebih mencerminkan stakeholders-driven karena lebih mengutamakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders perusahaan bisa mencakup karyawan beserta keluarganya, pelanggan, pemasok, komunitas setempat, dan masyarakat luas, termasuk pemerintah selaku regulator. Di sini, perusahaan bukan saja dituntut mampu menciptakan nilai tambah (value added) produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, melainkan pula harus sanggup memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya itu (Supomo, 2004).
Namun demikian, prinsip good corporate governance jangan diartikan secara sempit. Artinya, tidak sekadar mengedepankan kredo beneficience (do good principle), melainkan pula nonmaleficience (do no-harm principle) (Nugroho, 2006).
Perusahaan yang hanya mengedepankan benificience cenderung merasa telah melakukan CSR dengan baik. Misalnya, karena telah memberikan beasiswa atau sunatan massal gratis. Padahal, tanpa sadar dan pada saat yang sama, perusahaan tersebut telah membuat masyarakat semakin bodoh dan berperilaku konsumtif, umpamanya, dengan iklan dan produknya yang melanggar nonmaleficience.
Contoh perusahaan yang sudah menerapkan CSR
Perusahaan di Indonesia sudah banyak yang menerapkan CSR dalam usahanya membangun kepercayaan publik, seperti PT DJARUM, PT SAMPOERNA Tbk, PT UNILEVER INDONESIA Tbk dsb. Kita ambil contoh CSR pada PT Unilever Indonesia Tbk:
PT Unilever Indonesia Tbk menekankan penerapan kualitas bahan baku pada setiap lini produksinya melalui program corporate social responsibility (CSR).
Program ini dilakukan guna menjaga kesinambungan ketersediaan bahan baku serta produksinya. ”Yang kita lakukan bertujuan agar semua yang terlibat mulai dari supplier bisa memiliki keseragaman mutu dan kualitas,” ujar General Manager Unilever Peduli Foundation PT Unilever Indonesia Tbk Sinta Kaniawati saat berkunjung ke Kantor Seputar Indonesia di Jakarta kemarin. Menurut Sinta, definisi CSR saat ini sangat beragam dan berbeda- beda bergantung tujuan perusahaan dan cost-nya tidak bisa dihitung secara parsial.
Di Unilever, CSR tidak bisa dipisahkan dari perilaku perusahaan dalam melaksanakan proses produksi. ”Misalnya saja dalam melakukan CSR terhadap supplier bahan baku kecap, kita mengambil kedelai hitam langsung dari petani, bukan dari pedagang perantara sehingga petani mendapatkan margin lebih baik dan membuat hidup petani lebih baik,”kata dia.
Dia menambahkan, program CSR Unilever telah berhasil menciptakan sejumlah usahawan baru dalam bidang suplai bahan baku yang bisa bersaing di tingkat regional. Di luar kegiatan CSR bersama stakeholder dalam bidang produksi, Unilever juga telah menggelar program lain berupa edukasi kesehatan individu masyarakat.
Dalam waktu dekat, Unilever melalui Divisi Public Health & Educational akan kembali menggelar kampanye kesehatan bertajuk ”Jakarta Stop AIDS”. Kegiatan ini lanjutan dari program serupa yang digelar Unilever di Kota Surabaya, Jawa Timur yang bertajuk ”Surabaya Stop AIDS”November tahun lalu.Acara tersebut untuk memberikan pengetahuan terhadap siswa sekolah menengah di Jakarta tentang risiko HIV/AIDS.
”Kegiatan ini untuk memberikan kesadarankepada masyarakat akan pentingnya kesehatan,” kata Head of Corporate Communication PT Unilever Indonesia Tbk Maria Dewantini Dwianto . Sementara itu, Public Health & Educational Executive dr Leo Indarwahono mengatakan, penyuluhan seperti itu dinilai efektif karena dilakukan terhadap generasi muda yang notabene paling berisiko.
reference:
http://www.tekmira.esdm.go.id/currentissues/?p=303
http://aids-ina.org/modules.php?name=AvantGo&file=print&sid=934
pengertian CSR sangat beragam. Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, tetapi untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving, corporate philanthropy, corporate community relations, dan community development.
Ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau pendekatan CSR. Jika corporate giving bermotif amal atau charity, corporate philanthropy bermotif kemanusiaan dan corporate community relations bernapaskan tebar pesona, community development lebih bernuansa pemberdayaan.
Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) karya John Elkington.
Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P (profit, planet, dan people). Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit), tetapi memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
Bias-bias CSR
Berdasarkan pengamatan terhadap praktik CSR selama ini, tidak semua perusahaan mampu menjalankan CSR sesuai filosofi dan konsep CSR yang sejati. Tidak sedikit perusahaan yang terjebak oleh bias-bias CSR berikut ini.
Pertama, kamuflase. CSR yang dilakukan perusahaan tidak didasari oleh komitmen genuine, tetapi hanya untuk menutupi praktik bisnis yang memunculkan ethical questions. Bagi perusahaan seperti ini, CD bukan kepanjangan dari community development, melainkan “celana dalam” yang berfungsi menutupi “aurat” perusahaan. McDonald`s Corporation di AS dan pabrik sepatu Nike di Asia dan Afrika pernah tersandung kasus yang berkaitan dengan unnecessary cruelty to animals dan mempekerjakan anak di bawah umur.
Kedua, generik. Program CSR terlalu umum dan kurang fokus karena dikembangkan berdasarkan template atau program CSR yang telah dilakukan pihak lain. Perusahaan yang impulsif dan pelit biasanya malas melakukan inovasi dan cenderung melakukan copy-paste (kadang dengan sedikit modifikasi) terhadap model CSR yang dianggap mudah dan menguntungkan perusahaan.
Ketiga, directive. Kebijakan dan program CSR dirumuskan secara top-down dan hanya berdasarkan misi dan kepentingan perusahaan (shareholders) semata. Program CSR tidak partisipatif sesuai prinsip stakeholders engagement yang benar.
Keempat, lip service. CSR tidak menjadi bagian dari strategi dan kebijakan perusahaan. Biasanya, program CSR tidak didahului oleh needs assessment dan hanya diberikan berdasarkan belas kasihan (karitatif). Laporan tahunan CSR yang dibuat Enron dan British American Tobacco (BAT), misalnya, pernah menjadi sasaran kritik sebagai hanya lip service belaka.
Kelima, kiss and run. Program CSR bersifat ad hoc dan tidak berkelanjutan. Masyarakat diberi “ciuman” berupa barang, pelayanan atau pelatihan, lantas ditinggalkan begitu saja. Program yang dikembangkan umumnya bersifat myopic, berjangka pendek, dan tidak memerhatikan makna pemberdayaan dan investasi sosial. CSR sekadar “menanam jagung”, bukan “menanam jati”.
CSR yang baik
CSR yang baik (good CSR) memadukan empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency, accountability, dan responsibility, secara harmonis. Ada perbedaan mendasar di antara keempat prinsip tersebut (Supomo, 2004). Tiga prinsip pertama cenderung bersifat shareholders-driven karena lebih memerhatikan kepentingan pemegang saham perusahaan.
Sebagai contoh, fairness bisa berupa perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas; transparency menunjuk pada penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu; sedangkan accountability diwujudkan dalam bentuk fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi yang harus dipertanggung jawabkan.
Sementara itu, prinsip responsibility lebih mencerminkan stakeholders-driven karena lebih mengutamakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders perusahaan bisa mencakup karyawan beserta keluarganya, pelanggan, pemasok, komunitas setempat, dan masyarakat luas, termasuk pemerintah selaku regulator. Di sini, perusahaan bukan saja dituntut mampu menciptakan nilai tambah (value added) produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, melainkan pula harus sanggup memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya itu (Supomo, 2004).
Namun demikian, prinsip good corporate governance jangan diartikan secara sempit. Artinya, tidak sekadar mengedepankan kredo beneficience (do good principle), melainkan pula nonmaleficience (do no-harm principle) (Nugroho, 2006).
Perusahaan yang hanya mengedepankan benificience cenderung merasa telah melakukan CSR dengan baik. Misalnya, karena telah memberikan beasiswa atau sunatan massal gratis. Padahal, tanpa sadar dan pada saat yang sama, perusahaan tersebut telah membuat masyarakat semakin bodoh dan berperilaku konsumtif, umpamanya, dengan iklan dan produknya yang melanggar nonmaleficience.
Contoh perusahaan yang sudah menerapkan CSR
Perusahaan di Indonesia sudah banyak yang menerapkan CSR dalam usahanya membangun kepercayaan publik, seperti PT DJARUM, PT SAMPOERNA Tbk, PT UNILEVER INDONESIA Tbk dsb. Kita ambil contoh CSR pada PT Unilever Indonesia Tbk:
PT Unilever Indonesia Tbk menekankan penerapan kualitas bahan baku pada setiap lini produksinya melalui program corporate social responsibility (CSR).
Program ini dilakukan guna menjaga kesinambungan ketersediaan bahan baku serta produksinya. ”Yang kita lakukan bertujuan agar semua yang terlibat mulai dari supplier bisa memiliki keseragaman mutu dan kualitas,” ujar General Manager Unilever Peduli Foundation PT Unilever Indonesia Tbk Sinta Kaniawati saat berkunjung ke Kantor Seputar Indonesia di Jakarta kemarin. Menurut Sinta, definisi CSR saat ini sangat beragam dan berbeda- beda bergantung tujuan perusahaan dan cost-nya tidak bisa dihitung secara parsial.
Di Unilever, CSR tidak bisa dipisahkan dari perilaku perusahaan dalam melaksanakan proses produksi. ”Misalnya saja dalam melakukan CSR terhadap supplier bahan baku kecap, kita mengambil kedelai hitam langsung dari petani, bukan dari pedagang perantara sehingga petani mendapatkan margin lebih baik dan membuat hidup petani lebih baik,”kata dia.
Dia menambahkan, program CSR Unilever telah berhasil menciptakan sejumlah usahawan baru dalam bidang suplai bahan baku yang bisa bersaing di tingkat regional. Di luar kegiatan CSR bersama stakeholder dalam bidang produksi, Unilever juga telah menggelar program lain berupa edukasi kesehatan individu masyarakat.
Dalam waktu dekat, Unilever melalui Divisi Public Health & Educational akan kembali menggelar kampanye kesehatan bertajuk ”Jakarta Stop AIDS”. Kegiatan ini lanjutan dari program serupa yang digelar Unilever di Kota Surabaya, Jawa Timur yang bertajuk ”Surabaya Stop AIDS”November tahun lalu.Acara tersebut untuk memberikan pengetahuan terhadap siswa sekolah menengah di Jakarta tentang risiko HIV/AIDS.
”Kegiatan ini untuk memberikan kesadarankepada masyarakat akan pentingnya kesehatan,” kata Head of Corporate Communication PT Unilever Indonesia Tbk Maria Dewantini Dwianto . Sementara itu, Public Health & Educational Executive dr Leo Indarwahono mengatakan, penyuluhan seperti itu dinilai efektif karena dilakukan terhadap generasi muda yang notabene paling berisiko.
reference:
http://www.tekmira.esdm.go.id/currentissues/?p=303
http://aids-ina.org/modules.php?name=AvantGo&file=print&sid=934
Pasar Bebas
Etika Bisnis
Definisi Pasar Bebas, Pasar BebasPasar bebas adalah suatu pasar dimana harga barang-barang dan jasa disusun secara lengkap oleh ketidak saling memaksa yang disetujui oleh para penjual dan pembeli, ditetapkan pada umumnya oleh hukum penawaran dan permintaan dengan tanpa campur tangan pemerintah dalam regulasi harga, penawaran dan permintaan.
Pasar Bebas berkaitan erat dengan Perdagangan Bebas, perdagangan bebas sendiri dapat diartikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.
Peran pemerintah dalam pasar bebas? Pada pasar bebas, tidak diperlukan terlalu dalam campur tangan pemerintah. Bagi Adam Smith pemerintah diakui mempunyai peran penting dalam perekonomian Negara sebatas pada menyediakan dan mengembangkan infrastruktur dan menjalankan pemerintahan. Dengan tidak aktifnya pemerintah dalam perekonomian maka dengan sendirinya pasar akan menyesuaikan dan mencapai tingkat ekuilibrium.
Beberapa teori-teori mengenai pasar bebas:
a. Adam Smith menetapkan nilai-nilai yang dianggapnya merupakan fondasi teori pasar bebas:
(1) kebutuhan manusia tidak terbatas
(2) Sumber-sumber ekonomi yang relatif terbatas,
(3) pengejaran pemenuhan maksimal kebutuhan individu (utility maximization of self interest) yang relatif tidak terbatas. Dari tiga nilai dasar ini, maka perebutan dan pertarungan untuk pemenuhan kebutuhan manusia mendapatkan pembenarannya.
b. Dalam kata-kata ekonom dari Mazhab Austrian, Ludwig von Mises,
"Seluruh individu adalah produser sekaligus konsumer, dan juga pekerja adalah sekaligus pengusaha. Dengan demikian, jika pekerja ingin menuai keuntungan lebih dan masyarakat semakin makmur, mereka harus lebih produktif dan harus menyesuaikan keahliannya pada tuntutan pasar. Pekerja dengan demikian, seperti para pengusaha, harus menghindari dan menentang pasar yang tidak bebas (trade protectionism)."
Pada tataran ekonomi, nilai dasar Smithian ini kemudian melahirkan apa yang disebut persaingan bebas. Di mana persaingan bebas itu hanya bisa diwujudkan dalam pasar bebas. Secara logika, kita bisa mengatakan, “tidak ada persaingan bebas tanpa pasar bebas. Karena itu, keberadaan pasar bebas menjadi wajib adanya.” Inilah dasarnya, mengapa dalam pasar bebas intervensi pemerintah harus dibatasi dengan ketat. Jika pemerintah hadir di pasar, maka kehadirannya itu dibatasi sekadar untuk melindungi partisipan pasar dari tindak pemaksaan, termasuk perlindungan terhadap hak-hak kepemilikan dan memperkuat kontrak. Esensinya, pasar bebas dapat dipahami sebagai sebuah permainan dimana para pemainnya bertanding menurut seperangkat aturan umum yang melindunginya dari paksaan (termasuk pencurian); memperkuat aturan-aturan yang melahirkan wasit yang netral (pemerintah).
REFERENCE:
http://ekonomi-indonesia-bisnis.infogue.com/tantangan_pasar_bebas_indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar_bebas
http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_bebas
http://rindaasytuti.wordpress.com/2010/06/29/pasar-bebas-dan-kebijakkan-pemerintah-tinjauan-ekonomi-konvensional-dan-ekonomi-islam/
Definisi Pasar Bebas, Pasar BebasPasar bebas adalah suatu pasar dimana harga barang-barang dan jasa disusun secara lengkap oleh ketidak saling memaksa yang disetujui oleh para penjual dan pembeli, ditetapkan pada umumnya oleh hukum penawaran dan permintaan dengan tanpa campur tangan pemerintah dalam regulasi harga, penawaran dan permintaan.
Pasar Bebas berkaitan erat dengan Perdagangan Bebas, perdagangan bebas sendiri dapat diartikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.
Peran pemerintah dalam pasar bebas? Pada pasar bebas, tidak diperlukan terlalu dalam campur tangan pemerintah. Bagi Adam Smith pemerintah diakui mempunyai peran penting dalam perekonomian Negara sebatas pada menyediakan dan mengembangkan infrastruktur dan menjalankan pemerintahan. Dengan tidak aktifnya pemerintah dalam perekonomian maka dengan sendirinya pasar akan menyesuaikan dan mencapai tingkat ekuilibrium.
Beberapa teori-teori mengenai pasar bebas:
a. Adam Smith menetapkan nilai-nilai yang dianggapnya merupakan fondasi teori pasar bebas:
(1) kebutuhan manusia tidak terbatas
(2) Sumber-sumber ekonomi yang relatif terbatas,
(3) pengejaran pemenuhan maksimal kebutuhan individu (utility maximization of self interest) yang relatif tidak terbatas. Dari tiga nilai dasar ini, maka perebutan dan pertarungan untuk pemenuhan kebutuhan manusia mendapatkan pembenarannya.
b. Dalam kata-kata ekonom dari Mazhab Austrian, Ludwig von Mises,
"Seluruh individu adalah produser sekaligus konsumer, dan juga pekerja adalah sekaligus pengusaha. Dengan demikian, jika pekerja ingin menuai keuntungan lebih dan masyarakat semakin makmur, mereka harus lebih produktif dan harus menyesuaikan keahliannya pada tuntutan pasar. Pekerja dengan demikian, seperti para pengusaha, harus menghindari dan menentang pasar yang tidak bebas (trade protectionism)."
Pada tataran ekonomi, nilai dasar Smithian ini kemudian melahirkan apa yang disebut persaingan bebas. Di mana persaingan bebas itu hanya bisa diwujudkan dalam pasar bebas. Secara logika, kita bisa mengatakan, “tidak ada persaingan bebas tanpa pasar bebas. Karena itu, keberadaan pasar bebas menjadi wajib adanya.” Inilah dasarnya, mengapa dalam pasar bebas intervensi pemerintah harus dibatasi dengan ketat. Jika pemerintah hadir di pasar, maka kehadirannya itu dibatasi sekadar untuk melindungi partisipan pasar dari tindak pemaksaan, termasuk perlindungan terhadap hak-hak kepemilikan dan memperkuat kontrak. Esensinya, pasar bebas dapat dipahami sebagai sebuah permainan dimana para pemainnya bertanding menurut seperangkat aturan umum yang melindunginya dari paksaan (termasuk pencurian); memperkuat aturan-aturan yang melahirkan wasit yang netral (pemerintah).
REFERENCE:
http://ekonomi-indonesia-bisnis.infogue.com/tantangan_pasar_bebas_indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar_bebas
http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_bebas
http://rindaasytuti.wordpress.com/2010/06/29/pasar-bebas-dan-kebijakkan-pemerintah-tinjauan-ekonomi-konvensional-dan-ekonomi-islam/
Konflik antara Bank dan Nasabah
Etika Bisnis
Bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan menjalankan usahanya terutama dari dana masyarakat dan kemudian menyalurkan kembali kepada masyarakat. Selain itu, bank juga memberikan jasa-jasa keuangan dan pembayaran lainnya. Dengan demikian ada dua peranan penting yang dimainkan oleh bank yaitu sebagai lembaga penyimpan dana masyarakat dan sebagai lembaga penyedia dana bagi masyarakat dan atau dunia usaha.
Dengan demikian Perbankan memiliki fungsi penting dalam perekonomian negara. Perbankan mempunyai fungsi utama sebagai intermediasi, yaitu penghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan efisien pada sektor-sektor riil untuk menggerakkan pembangunan dan stabilitas perekonomian sebuah negara. Dalam hal ini, bank menghimpun dana dari masyarakat berdasarkan asas kepercayaan dari masyarakat. Apabila masyarakat percaya pada bank, maka masyarakat akan merasa aman untuk menyimpan uang atau dananya di bank. Dengan demikian, bank menanggung risiko reputasi atau reputation risk yang besar. Bank harus selalu menjaga tingkat kepercayaan dari nasabah atau masyarakat agar menyimpan dana mereka di bank, dan bank dapat menyalurkan dana tersebut untuk menggerakkan perekonomian bangsa.
Dalam dunia perbankan, nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa perbankan. Kedudukan nasabah dalam hubungannya dengan pelayanan jasa perbankan, berada pada dua posisi yang dapat bergantian sesuai dengan sisi mana mereka berada. Dilihat dari sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan dananya pada bank baik sebagai penabung deposan, maupun pembeli surat berharga, maka pada saat itu nasabah berkedudukan sebagai kreditur bank. Sedangkan pada sisi penyaluran dana, nasabah peminjam berkedudukan sebagai debitur dan bank sebagai kreditur.
Dari semua kedudukan tersebut, pada dasarnya nasabah merupakan konsumen dari pelaku usaha yang menyediakan jasa di sektor usaha perbankan.
Fungsi lembaga perbankan sebagai perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana membawa konsekuensi pada timbulnya interaksi yang intensif antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan. Dalam interaksi yang demikian intensif antara bank dengan nasabah, mungkin saja terjadi friksi yang apabila tidak segera diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa antara nasabah dengan bank.
Timbulnya friksi tersebut terutama disebabkan oleh empat hal yaitu:
1. Informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang ditawarkan bank;
2. Pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk serta jasa perbankan yang masih kurang;
3. Ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank, khususnya bagi nasabah peminjam dana;
4. Tidak adanya saluran memadai untuk memfasilitasi penyelesaian friksi yang terjadi antara nasabah dengan bank.
Perlindungan nasabah merupakan tantangan perbankan yang berpengaruh secara langsung terhadap sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu menjadi tantangan yang sangat besar bagi perbankan dan Bank Indonesia untuk menciptakan standar yang jelas dalam memberikan perlindungan kepada nasabah.
Perlindungan Nasabah
Nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa perbankan, perlindungan konsumen baginya merupakan suatu tuntutan tidak boleh diabaikan begitu saja.
Dalam dunia perbankan, pihak nasabah merupakan unsur yang sangat berperan sekali, mati hidupnya dunia perbankan bersandar kepada kepercayaan dari pihak masyarakat atau nasabah.
Kedudukan nasabah dalam hubungannya dengan jasa perbankan, berada pada dua sisi yang dapat bergantian sesuai dengan sisi mana berada. Dilihat pada sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan dananya pada bank baik sebagai penabung, deposan maupun pembeli surat berharga (obligasi atau commercial paper) maka pada saat itu nasabah berkedudukan sebagai debitur dan bank sebagai kreditur. Dalam pelayanan jasa perbankan lainnya seperti dalam pelayanan bank garansi, penyewaan save depostie box, transfer uang, dan pelayanan lainnya, nasabah mempunyai kedudukan yang berbeda pula. Tetapi dari semua kedudukan tersebut pada dasarnya nasabah merupakan konsumen dari pelaku usaha yang menyediakan jasa di sektor perbankan.
Fokus persoalan perlindungan nasabah tertuju pada ketentuan peraturan perundang-undangan serta ketentuan perjanjian yang mengatur hubungan antara bank dengan nasabah dapat terwujud dari suatu perjanjian, baik perjanjian yang berbentuk akta di bawah tangan maupun dalam bentuk otentik. Dalam konteks inilah perlu pengamatan yang baik untuk menjaga suatu bentuk perlindungan bagi konsumen namun tidak melemahkan kedudukan posisi bank, hal demikian perlu mengingat seringnya perjanjian yang dilaksanakan antara bank dengan nasabah telah dibakukan dengan suatu perjanjian baku.
Sisi lain yang menjadi fokus perlindungan konsumen dalam sektor jasa perbankan, yaitu pelayanan di bidang perkreditan. Hal-hal yang menjadi perhatian untuk perlindungan konsumen, yaitu pada proses yang harus ditempuh, dan warkat-warkat yang digunakan dalam pemberian krdit tersebut. Tidak kalah pentingnya pula yaitu saat pengikatan hukum antara bank dengan nasabah dimana secara hukum biasanya menyangkut dua macam pengikatan berupa: perjanjian kredit dan perjanjian tambahan yakni perjanjian mengikuti perjanjian pokok berupa suatu perjanjian penjaminan
Lembaga perbankan adalah lembaga yang mengandalkan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian guna tetap mengekalkan kepercayaan masyarakat terhadap bank, pemerintah berusaha melindungi masyarakat dari tindakan lembaga, ataupun oknumnya yang tidak bertanggungjawab, dan merusak sendi kepercayaan masyarakat.
Bank Indonesia sebagai pelaksana otoritas moneter mempunyai peranan yang besar dalam usaha melindungi, dan menjamin agar nasabah tidak mengalami kerugian akibat tindakan bank yang salah. Hal-hal yang menyangkut dengan usaha perlindungan nasabah diantaranya berupa laporan dan data-data yang merupakan bahan informasi.
Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas industri perbankan berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan nasabah dalam hubungannya dengan bank.
Berbagai regulasi dalam bidang perbankan mengenai perlindungan nasabah bank diantaranya adalah Penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang “Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah” dan PBI No. 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang “Penyelesaian Pengaduan Nasabah” dan PBI No.8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang “Media Perbankan”.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah melalui Bank Indonesia mulai memperhatikan kepentingan nasabah dalam konteks perlindungan nasabah bank yang sebelumnya cenderung terabaikan, baik oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan maupun tidak optimalnya pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mensyaratkan adanya keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat, dalam konteks ini termasuk dalam hubungan antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabahnya.
Mengingat pentingnya perlindungan nasabah tersebut, Bank Indonesia menetapkan upaya perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang terdiri dari enam pilar, bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk dan tatanan pada industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan.
Arah kebijakan pengembangan industri perbankan tersebut dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Enam pilar dalam API adalah:
1. Struktur perbankan yang sehat
2. Sistim pengaturan yang efektif
3. Sistim pengawasan yang independen dan efektif
4. Industri perbankan yang kuat
5. Infrastruktur pendukung yang mencukupi
6. Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan nasabah dalam Pilar ke VI API dituangkan dalam empat aspek yang terkait satu sama lain dan secara bersama-sama akan dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak nasabah. Empat aspek tersebut adalah:
1. Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah;
2. Pembentukan lembaga mediasi perbankan;
3. Penyusunan standar transparansi informasi produk, dan
4. Peningkatan edukasi untuk nasabah.
Program penyusunan mekanisme pengaduan nasabah di bank dan program pembentukan lembaga mediasi independen ditujukan untuk mengatasi permasalahan antara nasabah dengan bank yang saat ini sudah terjadi, sedangkan program penyusunan standar transparansi informasi produk perbankan ditujukan sebagai sarana awal untuk mencegah timbulnya permasalahan antara nasabah dengan bank. Khusus untuk program edukasi nasabah, pelaksanaannya dirasakan perlu diperluas hingga mencakup mereka yang belum dan akan menjadi nasabah bank agar pada saat pertama kali berhubungan dengan bank para calon nasabah tersebut sudah memiliki informasi yang cukup mengenai kegiatan usaha serta produk dan jasa bank.
Edukasi masyarakat di bidang perbankan pada dasarnya merupakan pemberian informasi dan pemahaman kepada masyarakat mengenai fungsi dan kegiatan usaha bank, serta produk dan jasa yang ditawarkan bank. Pemberian Edukasi ini diharapkan dapat memfasilitasi pemberian informasi yang cukup kepada masyarakat sebelum mereka melakukan interaksi dengan bank. Dengan demikian akan terhindar adanya kesenjangan informasi pada pemanfaatan produk dan jasa perbankan yang dapat menyebabkan timbulnya permasalahan antara bank dengan nasabah di kemudian hari.
Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
Proses mediasi perbankan merupakan kelanjutan dari pengaduan nasabah apabila nasabah merasa tidak puas atas penanganan dan penyelesaian yang diberikan bank. Dalam pelaksanaan kegiatan usaha perbankan seringkali hak-hak nasabah tidak dapat terlaksana dengan baik sehingga menimbulkan friksi antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan munculnya pengaduan nasabah.
Apabila pengaduan nasabah tidak diselesaikan dengan baik oleh bank, maka berpotensi menjadi perselisihan atau sengketa antara nasabah dengan bank cenderung berlarut-larut. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan cukup banyaknya keluhan-keluhan nasabah di berbagai media. Munculnya keluhan-keluhan yang tersebar pada publik melalui berbagai media tersebut dapat menurunkan reputasi bank di mata masyarakat dan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan.
Untuk mengurangi publikasi negatif terhadap operasional bank dan menjamin terselenggaranya mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah secara efektif dalam jangka waktu yang memadai, maka Bank Indonesia menetapkan standar minimum mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah yang wajib dilaksanakan oleh seluruh bank.
Tetapi Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 ini tidak selalu dapat memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dikarenakan tidak terpenuhinya tuntutan nasabah bank baik seluruhnya maupun sebagian sehingga berpotensi menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank.
Dalam praktek dikenal berbagai bentuk penyelesaian sengketa perdata seperti litigasi, arbitrase dan/atau Mediasi. Namun, pihak-pihak yang bersengketa umumnya lebih banyak memilih penyelesaian melalui proses litigasi di Pengadilan Negeri, baik melakukan tuntutan secara perdata maupun secara pidana. Namun terdapat banyak kendala yang sering dihadapi.
Kendala tersebut antara lain lamanya penyelesaian perkara, serta putusan yang dijatuhkan seringkali mencerminkan tidak adanya unified legal work dan unified legal opinion antara Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.
Oleh karena itu, diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Di antaranya adalah arbitrase dan mediasi seperti yang diatur dalam UU No.30 tahun 1999. Pengaturan Mediasi di pengadilan diatur dalam Perma No.2 tahun 2003. Sedangkan Mediasi Perbankan diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006. Pada PBI No.8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan dinyatakan bahwa sampai dengan akhir tahun 2007 pelaksanaan fungsi mediasi perbankan akan dilakukan oleh Bank Indonesia.
Menurut Peraturan Bank Indonesia No.8/5/PBI/2006, maka yang dimaksud dengan Mediasi Perbankan adalah alternatif penyelesaian sengketa antara Nasabah dan Bank yang tidak mencapai penyelesaian yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan.
Hal-hal yang diatur dalam Mediasi Perbankan adalah:
1. Nasabah atau perwakilan nasabah dapat mengajukan upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi ke BI apabila nasabah merasa tidak puas atas penyelesaian pengaduan nasabah;
2. Sengketa yang dapat diajukan penyelesaiannya adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan yang memiliki tuntutan finansial paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh tuntutan immaterial;
3. Pengajuan penyelesaian sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh hari) kerja saat tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan yang disampaikan bank kepada nasabah;
4. Pelaksaan proses mediasi sejak ditandatanganinya perjanjian mediasi samapi dengan penandatanganan Akta Kesepakatan oleh para pihak dilaksanakan dalam waktu 30 hari kerja dan dapat diperpanjang sampai dengan 30 hari berikutnya berdasarkan kesepakatan nasabah dan bank;
5. Akta kesepakatan dapat memuat menyeluruh, kesepakatan sebagian, atau tidak tercapainya kesepakatan atau kasus yang disengketakan.
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, para pihak biasanya mampu mencapai kesepakatan di antara mereka, sehingga manfaat mediasi dapat dirasakan. Beberapa keuntungan mediasi adalah sebagai berikut:
1. Mediasi dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat, biaya murah dibandingkan dengan proses beracara di Pengadilan atau melalui Arbitrase. Dalam proses mediasi tidak diperlukan gugatan ataupun biaya untuk mengajukan banding sehingga biayanya lebih murah
2. Mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi para pihak yang bersengketa tetap menjaga hubungan kerjasama mereka yang sempat terganggu akibat terjadinya persengketaan diantara mereka.
3. Proses mediasi lebih bersifat informal dan menghasilkan putusan yang tidak memihak.
Intisari :
Keberadaan lembaga mediasi perbankan merupakan sebuah bentuk perlindungan terhadap konsumen. Hal ini merupakan salah satu langkah kebijakan yang akan diterapkan Bank Indonesia (BI) yang tertuang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Keberadaan lembaga tersebut merupakan suatu terobosan seperti di negara lain karena Indonesia ingin memberdayakan nasabah perbankan dengan memberikan perlindungan kepada nasabah.
Kehadiran mediasi perbankan sangat penting. Hal ini dikarenakan perbankan merupakan lembaga yang sangat mengandalkan kepercayaan dari masyarakat luas. Masyarakat mengandalkan jasa bank dilandasi rasa kepercayaan. Oleh karena itu, kepercayaan dari masyarakat harus tetap terjaga.
Keberadaan Lembaga Mediasi independen ini akan memberikan manfaat baik bagi nasabah maupun bank.
Sumber: http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-bisnis/86-mediasi-perbankan-sebagai-wujud-perlindungan-terhadap-nasabah-bank.htm
Bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan menjalankan usahanya terutama dari dana masyarakat dan kemudian menyalurkan kembali kepada masyarakat. Selain itu, bank juga memberikan jasa-jasa keuangan dan pembayaran lainnya. Dengan demikian ada dua peranan penting yang dimainkan oleh bank yaitu sebagai lembaga penyimpan dana masyarakat dan sebagai lembaga penyedia dana bagi masyarakat dan atau dunia usaha.
Dengan demikian Perbankan memiliki fungsi penting dalam perekonomian negara. Perbankan mempunyai fungsi utama sebagai intermediasi, yaitu penghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan efisien pada sektor-sektor riil untuk menggerakkan pembangunan dan stabilitas perekonomian sebuah negara. Dalam hal ini, bank menghimpun dana dari masyarakat berdasarkan asas kepercayaan dari masyarakat. Apabila masyarakat percaya pada bank, maka masyarakat akan merasa aman untuk menyimpan uang atau dananya di bank. Dengan demikian, bank menanggung risiko reputasi atau reputation risk yang besar. Bank harus selalu menjaga tingkat kepercayaan dari nasabah atau masyarakat agar menyimpan dana mereka di bank, dan bank dapat menyalurkan dana tersebut untuk menggerakkan perekonomian bangsa.
Dalam dunia perbankan, nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa perbankan. Kedudukan nasabah dalam hubungannya dengan pelayanan jasa perbankan, berada pada dua posisi yang dapat bergantian sesuai dengan sisi mana mereka berada. Dilihat dari sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan dananya pada bank baik sebagai penabung deposan, maupun pembeli surat berharga, maka pada saat itu nasabah berkedudukan sebagai kreditur bank. Sedangkan pada sisi penyaluran dana, nasabah peminjam berkedudukan sebagai debitur dan bank sebagai kreditur.
Dari semua kedudukan tersebut, pada dasarnya nasabah merupakan konsumen dari pelaku usaha yang menyediakan jasa di sektor usaha perbankan.
Fungsi lembaga perbankan sebagai perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana membawa konsekuensi pada timbulnya interaksi yang intensif antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan. Dalam interaksi yang demikian intensif antara bank dengan nasabah, mungkin saja terjadi friksi yang apabila tidak segera diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa antara nasabah dengan bank.
Timbulnya friksi tersebut terutama disebabkan oleh empat hal yaitu:
1. Informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang ditawarkan bank;
2. Pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk serta jasa perbankan yang masih kurang;
3. Ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank, khususnya bagi nasabah peminjam dana;
4. Tidak adanya saluran memadai untuk memfasilitasi penyelesaian friksi yang terjadi antara nasabah dengan bank.
Perlindungan nasabah merupakan tantangan perbankan yang berpengaruh secara langsung terhadap sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu menjadi tantangan yang sangat besar bagi perbankan dan Bank Indonesia untuk menciptakan standar yang jelas dalam memberikan perlindungan kepada nasabah.
Perlindungan Nasabah
Nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa perbankan, perlindungan konsumen baginya merupakan suatu tuntutan tidak boleh diabaikan begitu saja.
Dalam dunia perbankan, pihak nasabah merupakan unsur yang sangat berperan sekali, mati hidupnya dunia perbankan bersandar kepada kepercayaan dari pihak masyarakat atau nasabah.
Kedudukan nasabah dalam hubungannya dengan jasa perbankan, berada pada dua sisi yang dapat bergantian sesuai dengan sisi mana berada. Dilihat pada sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan dananya pada bank baik sebagai penabung, deposan maupun pembeli surat berharga (obligasi atau commercial paper) maka pada saat itu nasabah berkedudukan sebagai debitur dan bank sebagai kreditur. Dalam pelayanan jasa perbankan lainnya seperti dalam pelayanan bank garansi, penyewaan save depostie box, transfer uang, dan pelayanan lainnya, nasabah mempunyai kedudukan yang berbeda pula. Tetapi dari semua kedudukan tersebut pada dasarnya nasabah merupakan konsumen dari pelaku usaha yang menyediakan jasa di sektor perbankan.
Fokus persoalan perlindungan nasabah tertuju pada ketentuan peraturan perundang-undangan serta ketentuan perjanjian yang mengatur hubungan antara bank dengan nasabah dapat terwujud dari suatu perjanjian, baik perjanjian yang berbentuk akta di bawah tangan maupun dalam bentuk otentik. Dalam konteks inilah perlu pengamatan yang baik untuk menjaga suatu bentuk perlindungan bagi konsumen namun tidak melemahkan kedudukan posisi bank, hal demikian perlu mengingat seringnya perjanjian yang dilaksanakan antara bank dengan nasabah telah dibakukan dengan suatu perjanjian baku.
Sisi lain yang menjadi fokus perlindungan konsumen dalam sektor jasa perbankan, yaitu pelayanan di bidang perkreditan. Hal-hal yang menjadi perhatian untuk perlindungan konsumen, yaitu pada proses yang harus ditempuh, dan warkat-warkat yang digunakan dalam pemberian krdit tersebut. Tidak kalah pentingnya pula yaitu saat pengikatan hukum antara bank dengan nasabah dimana secara hukum biasanya menyangkut dua macam pengikatan berupa: perjanjian kredit dan perjanjian tambahan yakni perjanjian mengikuti perjanjian pokok berupa suatu perjanjian penjaminan
Lembaga perbankan adalah lembaga yang mengandalkan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian guna tetap mengekalkan kepercayaan masyarakat terhadap bank, pemerintah berusaha melindungi masyarakat dari tindakan lembaga, ataupun oknumnya yang tidak bertanggungjawab, dan merusak sendi kepercayaan masyarakat.
Bank Indonesia sebagai pelaksana otoritas moneter mempunyai peranan yang besar dalam usaha melindungi, dan menjamin agar nasabah tidak mengalami kerugian akibat tindakan bank yang salah. Hal-hal yang menyangkut dengan usaha perlindungan nasabah diantaranya berupa laporan dan data-data yang merupakan bahan informasi.
Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas industri perbankan berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan nasabah dalam hubungannya dengan bank.
Berbagai regulasi dalam bidang perbankan mengenai perlindungan nasabah bank diantaranya adalah Penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang “Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah” dan PBI No. 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang “Penyelesaian Pengaduan Nasabah” dan PBI No.8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang “Media Perbankan”.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah melalui Bank Indonesia mulai memperhatikan kepentingan nasabah dalam konteks perlindungan nasabah bank yang sebelumnya cenderung terabaikan, baik oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan maupun tidak optimalnya pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mensyaratkan adanya keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat, dalam konteks ini termasuk dalam hubungan antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabahnya.
Mengingat pentingnya perlindungan nasabah tersebut, Bank Indonesia menetapkan upaya perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang terdiri dari enam pilar, bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk dan tatanan pada industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan.
Arah kebijakan pengembangan industri perbankan tersebut dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Enam pilar dalam API adalah:
1. Struktur perbankan yang sehat
2. Sistim pengaturan yang efektif
3. Sistim pengawasan yang independen dan efektif
4. Industri perbankan yang kuat
5. Infrastruktur pendukung yang mencukupi
6. Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan nasabah dalam Pilar ke VI API dituangkan dalam empat aspek yang terkait satu sama lain dan secara bersama-sama akan dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak nasabah. Empat aspek tersebut adalah:
1. Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah;
2. Pembentukan lembaga mediasi perbankan;
3. Penyusunan standar transparansi informasi produk, dan
4. Peningkatan edukasi untuk nasabah.
Program penyusunan mekanisme pengaduan nasabah di bank dan program pembentukan lembaga mediasi independen ditujukan untuk mengatasi permasalahan antara nasabah dengan bank yang saat ini sudah terjadi, sedangkan program penyusunan standar transparansi informasi produk perbankan ditujukan sebagai sarana awal untuk mencegah timbulnya permasalahan antara nasabah dengan bank. Khusus untuk program edukasi nasabah, pelaksanaannya dirasakan perlu diperluas hingga mencakup mereka yang belum dan akan menjadi nasabah bank agar pada saat pertama kali berhubungan dengan bank para calon nasabah tersebut sudah memiliki informasi yang cukup mengenai kegiatan usaha serta produk dan jasa bank.
Edukasi masyarakat di bidang perbankan pada dasarnya merupakan pemberian informasi dan pemahaman kepada masyarakat mengenai fungsi dan kegiatan usaha bank, serta produk dan jasa yang ditawarkan bank. Pemberian Edukasi ini diharapkan dapat memfasilitasi pemberian informasi yang cukup kepada masyarakat sebelum mereka melakukan interaksi dengan bank. Dengan demikian akan terhindar adanya kesenjangan informasi pada pemanfaatan produk dan jasa perbankan yang dapat menyebabkan timbulnya permasalahan antara bank dengan nasabah di kemudian hari.
Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
Proses mediasi perbankan merupakan kelanjutan dari pengaduan nasabah apabila nasabah merasa tidak puas atas penanganan dan penyelesaian yang diberikan bank. Dalam pelaksanaan kegiatan usaha perbankan seringkali hak-hak nasabah tidak dapat terlaksana dengan baik sehingga menimbulkan friksi antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan munculnya pengaduan nasabah.
Apabila pengaduan nasabah tidak diselesaikan dengan baik oleh bank, maka berpotensi menjadi perselisihan atau sengketa antara nasabah dengan bank cenderung berlarut-larut. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan cukup banyaknya keluhan-keluhan nasabah di berbagai media. Munculnya keluhan-keluhan yang tersebar pada publik melalui berbagai media tersebut dapat menurunkan reputasi bank di mata masyarakat dan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan.
Untuk mengurangi publikasi negatif terhadap operasional bank dan menjamin terselenggaranya mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah secara efektif dalam jangka waktu yang memadai, maka Bank Indonesia menetapkan standar minimum mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah yang wajib dilaksanakan oleh seluruh bank.
Tetapi Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 ini tidak selalu dapat memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dikarenakan tidak terpenuhinya tuntutan nasabah bank baik seluruhnya maupun sebagian sehingga berpotensi menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank.
Dalam praktek dikenal berbagai bentuk penyelesaian sengketa perdata seperti litigasi, arbitrase dan/atau Mediasi. Namun, pihak-pihak yang bersengketa umumnya lebih banyak memilih penyelesaian melalui proses litigasi di Pengadilan Negeri, baik melakukan tuntutan secara perdata maupun secara pidana. Namun terdapat banyak kendala yang sering dihadapi.
Kendala tersebut antara lain lamanya penyelesaian perkara, serta putusan yang dijatuhkan seringkali mencerminkan tidak adanya unified legal work dan unified legal opinion antara Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.
Oleh karena itu, diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Di antaranya adalah arbitrase dan mediasi seperti yang diatur dalam UU No.30 tahun 1999. Pengaturan Mediasi di pengadilan diatur dalam Perma No.2 tahun 2003. Sedangkan Mediasi Perbankan diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006. Pada PBI No.8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan dinyatakan bahwa sampai dengan akhir tahun 2007 pelaksanaan fungsi mediasi perbankan akan dilakukan oleh Bank Indonesia.
Menurut Peraturan Bank Indonesia No.8/5/PBI/2006, maka yang dimaksud dengan Mediasi Perbankan adalah alternatif penyelesaian sengketa antara Nasabah dan Bank yang tidak mencapai penyelesaian yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan.
Hal-hal yang diatur dalam Mediasi Perbankan adalah:
1. Nasabah atau perwakilan nasabah dapat mengajukan upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi ke BI apabila nasabah merasa tidak puas atas penyelesaian pengaduan nasabah;
2. Sengketa yang dapat diajukan penyelesaiannya adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan yang memiliki tuntutan finansial paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh tuntutan immaterial;
3. Pengajuan penyelesaian sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh hari) kerja saat tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan yang disampaikan bank kepada nasabah;
4. Pelaksaan proses mediasi sejak ditandatanganinya perjanjian mediasi samapi dengan penandatanganan Akta Kesepakatan oleh para pihak dilaksanakan dalam waktu 30 hari kerja dan dapat diperpanjang sampai dengan 30 hari berikutnya berdasarkan kesepakatan nasabah dan bank;
5. Akta kesepakatan dapat memuat menyeluruh, kesepakatan sebagian, atau tidak tercapainya kesepakatan atau kasus yang disengketakan.
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, para pihak biasanya mampu mencapai kesepakatan di antara mereka, sehingga manfaat mediasi dapat dirasakan. Beberapa keuntungan mediasi adalah sebagai berikut:
1. Mediasi dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat, biaya murah dibandingkan dengan proses beracara di Pengadilan atau melalui Arbitrase. Dalam proses mediasi tidak diperlukan gugatan ataupun biaya untuk mengajukan banding sehingga biayanya lebih murah
2. Mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi para pihak yang bersengketa tetap menjaga hubungan kerjasama mereka yang sempat terganggu akibat terjadinya persengketaan diantara mereka.
3. Proses mediasi lebih bersifat informal dan menghasilkan putusan yang tidak memihak.
Intisari :
Keberadaan lembaga mediasi perbankan merupakan sebuah bentuk perlindungan terhadap konsumen. Hal ini merupakan salah satu langkah kebijakan yang akan diterapkan Bank Indonesia (BI) yang tertuang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Keberadaan lembaga tersebut merupakan suatu terobosan seperti di negara lain karena Indonesia ingin memberdayakan nasabah perbankan dengan memberikan perlindungan kepada nasabah.
Kehadiran mediasi perbankan sangat penting. Hal ini dikarenakan perbankan merupakan lembaga yang sangat mengandalkan kepercayaan dari masyarakat luas. Masyarakat mengandalkan jasa bank dilandasi rasa kepercayaan. Oleh karena itu, kepercayaan dari masyarakat harus tetap terjaga.
Keberadaan Lembaga Mediasi independen ini akan memberikan manfaat baik bagi nasabah maupun bank.
Sumber: http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-bisnis/86-mediasi-perbankan-sebagai-wujud-perlindungan-terhadap-nasabah-bank.htm
Etika Bisnis dalam Iklan ''Clean and Clear''
Etika Bisnis
Etika bisnis adalah studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis (Velasquez, 2005).
Di dalam iklan clean n clear dimana model wanitanya sedang ada dead line untuk menghilangkan komedo diwajahnya. Dan temannya memberi solusi untuk menggunakan pembersih yaitu clean n clear yang berfungsi dapat melembutkan dan menghilangkan komedo dalam waktu tiga hari.sehingga model wanita tersebut dapat ngejar dead linenya.
Dalam etika bisnis, iklan seperti itu sangatlah baik karena dengan hanya tiga hari wajah dapat bersih dari komedo yang dapat mengajak konsumen agar percaya dan tertarik untuk membeli produk tersebut.
Dalam promosinya, clean n clear menggunakan model cantik agar dapat menarik perhatian konsumen yang melihatnya baik dari kaum hawa maupun adam.Dan clean n clear mengunakan yel-yel kata “ kulit cantik dalam 3 hari” untuk mengingatkan image baik bagi konsumen.
Etika bisnis adalah studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis (Velasquez, 2005).
Di dalam iklan clean n clear dimana model wanitanya sedang ada dead line untuk menghilangkan komedo diwajahnya. Dan temannya memberi solusi untuk menggunakan pembersih yaitu clean n clear yang berfungsi dapat melembutkan dan menghilangkan komedo dalam waktu tiga hari.sehingga model wanita tersebut dapat ngejar dead linenya.
Dalam etika bisnis, iklan seperti itu sangatlah baik karena dengan hanya tiga hari wajah dapat bersih dari komedo yang dapat mengajak konsumen agar percaya dan tertarik untuk membeli produk tersebut.
Dalam promosinya, clean n clear menggunakan model cantik agar dapat menarik perhatian konsumen yang melihatnya baik dari kaum hawa maupun adam.Dan clean n clear mengunakan yel-yel kata “ kulit cantik dalam 3 hari” untuk mengingatkan image baik bagi konsumen.
Pekerja Keras Vs Pekerja Smart
Etika Bisnis
Kita Sering melihat Seorang Tenaga Admin bekerja keras dan bertanggung Jawab, Ia juga merasa menjadi salah satu orang penting dalam siklus sistem perusahaan tempat ia berkarir ….
Disisi lain, Pemilik/Pemimpin merasakan bahwa Tenaga Admin tersebut memang menjadi komponen yang penting dalam siklus sistem perusahaannya, tetapi Pemilik/Pemimpin perusahaan tersebut tidak puas terhadap kualitas perkerjaan yang dihasilkan Tenaga Admin tersebut …
Kontroversi antara Seseorang yang merasa menjadi Orang Kunci, Pekerja Keras, dan Bertanggung Jawab menjadi kurang bernilai, jika dibandingkan dengan kekecewaan Pemilik/Pemimpin atas penilaian kualitas Pekerjaan Tenaga Admin tersebut …
Umumnya, Seorang merasa bekerja keras dan bertanggung jawab sudah cukup, tetapi efektifitas dan Kualitas tidak diperhatikan, hal ini biasanya di sebabkan oleh minimnya pengetahuan dan wawasan pada bidang yang ditekuni-nya, Larut dalam Rutinitas sehingga menyebabkan hilangnya Kreativitas untuk mengembangkan teknik baru dan produktifitas kerja yang bermamfaat untuk Perusahaan …
Yang menjadi pertanyaan adalah :
1. Kenapa seseorang tidak mempunyai keinginan kuat untuk menambah pengetahuan dan wawasannya ?
2. Kenapa Seseorang tidak menyadari Ia tenggelam dalam Rutinitas, sehingga mengakibatkan Mandulnya Kreativitas ?
3. Kenapa Seseorang jarang meng-kritisi hasil pekerjaan-nya dari sudut Kualitas dan Produktifitas yang bermamfaat untuk Perusahaan ?
Jika seseorang mempunyai keinginan kuat untuk menambah pengetahuan dan wawasannya, maka ia akan cepat menyadari apabila saat ia tenggelam dalam Rutinitas …
Dari Menyadari bahwa Ia Tenggelam dalam Rutinitas itu tidak baik untuk Perusahaan dan masa depannya, maka Ia akan berkreativitas mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut …
Kreavitas dengan didasari Pengetahuan dan Wawasan yang benar, tentu saja akan menghasilkan Kualitas dan Produktifitas Kerja yang bermamfaat bagi kemajuan Perusahaan …
Intisari :
Tentu saja tulisan ini, terlalu singkat membahas permasalahan dan solusinya, namun dengan tulisan ini, diharapkan bisa menjadi cermin untuk meng-evaluasi diri (Intropeksi), apakah kita mempunyai Pengetahuan dan Wawasan yang kurang pada bidang yang kita tangani, apakah kita sudah tenggelam dalam Rutinitas, Apakah kita sudah hilang kreatifitas, Kalau Ya, maka kita digolongkan sebagai Pekerja Keras bukan sebagai Pekerja Smart …
Pekerja Smart, tentu saja dari waktu ke waktu selalu meningkatkan Pengetahuan dan Wawasannya yang berkaitan dengan bidang keahliannya, dan Kreativitas-nya akan terus mengalir, tentu saja, kita bisa tebak, bagaimana kualitas dan produktivitas pekerjaanya …
Reference : http://anthonyjt.blogdetik.com/
Kita Sering melihat Seorang Tenaga Admin bekerja keras dan bertanggung Jawab, Ia juga merasa menjadi salah satu orang penting dalam siklus sistem perusahaan tempat ia berkarir ….
Disisi lain, Pemilik/Pemimpin merasakan bahwa Tenaga Admin tersebut memang menjadi komponen yang penting dalam siklus sistem perusahaannya, tetapi Pemilik/Pemimpin perusahaan tersebut tidak puas terhadap kualitas perkerjaan yang dihasilkan Tenaga Admin tersebut …
Kontroversi antara Seseorang yang merasa menjadi Orang Kunci, Pekerja Keras, dan Bertanggung Jawab menjadi kurang bernilai, jika dibandingkan dengan kekecewaan Pemilik/Pemimpin atas penilaian kualitas Pekerjaan Tenaga Admin tersebut …
Umumnya, Seorang merasa bekerja keras dan bertanggung jawab sudah cukup, tetapi efektifitas dan Kualitas tidak diperhatikan, hal ini biasanya di sebabkan oleh minimnya pengetahuan dan wawasan pada bidang yang ditekuni-nya, Larut dalam Rutinitas sehingga menyebabkan hilangnya Kreativitas untuk mengembangkan teknik baru dan produktifitas kerja yang bermamfaat untuk Perusahaan …
Yang menjadi pertanyaan adalah :
1. Kenapa seseorang tidak mempunyai keinginan kuat untuk menambah pengetahuan dan wawasannya ?
2. Kenapa Seseorang tidak menyadari Ia tenggelam dalam Rutinitas, sehingga mengakibatkan Mandulnya Kreativitas ?
3. Kenapa Seseorang jarang meng-kritisi hasil pekerjaan-nya dari sudut Kualitas dan Produktifitas yang bermamfaat untuk Perusahaan ?
Jika seseorang mempunyai keinginan kuat untuk menambah pengetahuan dan wawasannya, maka ia akan cepat menyadari apabila saat ia tenggelam dalam Rutinitas …
Dari Menyadari bahwa Ia Tenggelam dalam Rutinitas itu tidak baik untuk Perusahaan dan masa depannya, maka Ia akan berkreativitas mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut …
Kreavitas dengan didasari Pengetahuan dan Wawasan yang benar, tentu saja akan menghasilkan Kualitas dan Produktifitas Kerja yang bermamfaat bagi kemajuan Perusahaan …
Intisari :
Tentu saja tulisan ini, terlalu singkat membahas permasalahan dan solusinya, namun dengan tulisan ini, diharapkan bisa menjadi cermin untuk meng-evaluasi diri (Intropeksi), apakah kita mempunyai Pengetahuan dan Wawasan yang kurang pada bidang yang kita tangani, apakah kita sudah tenggelam dalam Rutinitas, Apakah kita sudah hilang kreatifitas, Kalau Ya, maka kita digolongkan sebagai Pekerja Keras bukan sebagai Pekerja Smart …
Pekerja Smart, tentu saja dari waktu ke waktu selalu meningkatkan Pengetahuan dan Wawasannya yang berkaitan dengan bidang keahliannya, dan Kreativitas-nya akan terus mengalir, tentu saja, kita bisa tebak, bagaimana kualitas dan produktivitas pekerjaanya …
Reference : http://anthonyjt.blogdetik.com/
Langganan:
Postingan (Atom)